Jakarta 25/6/2009 (KATAKAMI) Jika ada pihak yang tahu dan semakin banyak "mendapatkan" fakta-fakta atau informasi baru yang sangat buruk serta negatif di dalam sepak terjang KEPOLISIAN INDONESIA Atau POLRI, maka pastilah akan merasa sangat putus asa. Seperti api dalam sekam.
Berbagai brutalisme, kerakusan, korupsi dan berbagai pelanggaran hukum yang patut dapat diduga dilakukan POLISI INDONESIA, tampaknya sudah tak bisa lagi disembunyikan atau diredam.
Mari, kami ajak anda menyimak sejenak sebuah berita terbaru yang disiarkan RADIO BBC LONDON.
Polisi Indonesia mendapat sorotan dari Amnesty International |
Amnesty International menyatakan polisi Indonesia masih sering terlibat kekerasan dan penyiksaan para tersangka, demikian laporan RADIO BBC LONDON.
Laporan Amnesty International yang disiarkan hari Rabu ini juga menyebutkan para pelakunya jarang diadili.
Kelompok pegiat hak asasi manusia yang berkantor di London ini seperti dikutip kantor berita Reuters, mengakui berbagai upaya dalam satu dasa warsa ini untuk membuat polisi lebih profesional dan akuntabel.
Namun langkah ini dikatakannya, gagal menghilangkan masalah yang sudah banyak dilakukan.
Wakil Direktur Amnesty International Asia Pasifik Donna Guest seperti dikutip kantor berita Reuters mengatakan, "Dalam beberapa kasus, pelanggaran itu terkait langsung dengan upaya polisi menerima suap dari tersangka."
Disebutkan pula, mereka yang tidak bisa membayar uang suap akan diperlaukan lebih buruk.
Menurut Guest, meskipun para pejabat tinggi di pemerintahan dan polisi etlah membuat komitmen untuk mengadakan perubahan namun tidak sampai kepada kebanyakan polisi.
Kelompok rawan
Laporan itu menemukan, pengguna narkoba, pelanggar hukum yang berulangkali, wanita termasuk pekerja seks komersial rawan terhadap pelanggaran itu.
Dalam beberapa kasus kekerasan terkait dengan upaya polisi mendapat uang suap Donna Guest, Amesty International |
Amnesty mengatakan telah berbicara kepada korban pelanggaran, pejabat polisi, pengacara dan kelompok pegiat HAM dalam dua tahun terakhir saat menyusun laporan ini.
Disebutkan, mekanisme disiplin di dalam kepolisian tidak mampu secara efektif menangani pengaduan atas perilaku polisi sedangkan para korban sering tidak tahu kemana mereka mengajukan laporan.
Amnesty mendesak pemerintah mengumumkan pelanggaran yang sudah sering terjadi itu dan melakukan penyelidikan yang tidak memihak dan efektif terhadap setiap tuduhan.
Juru bicara Kepolisian Indonesia Abubakar Nataprawira membela kinerja 371.000 personil kepolisian.
"Pada tahun 2010 kami menargetkan sebagai lembaga yang disenangi bukan ditakuti masyarakat," katanya seperti dikutip Reuters seraya menambahkan restrukturisasi di kepolisian masih terus berlanjut.
Mekanisme sanksi juga telah diberlakukan untuk menghukum polisi yang menerima uang suap.
Kini, kami ajak anda menyimak berita yang disiarkan Radio Nederland BELANDA :
Di Indonesia polisi masih menyiksa dan melakukan pelecehan kaum tertuduh dalam skala besar. Demikian organisasi HAM Amnesty International dalam laporannya yang terbit Rabu.
Walaupun kalangan puncak berjanji akan memberantas keadaan yang tidak beres di korps polisi, namun, demikian Amnesty, kekerasan masih merajalela. Laporan organisasi HAM ini berdasarkan pembicaraan dengan pihak polisi, pengacara dan para korban kekerasan polisi.
Menurut para penyidik, korban utama adalah kaum terlemah masyarakat, seperti pecandu narkoba dan pekerja seks komersial. Perlakuan yang lebih manusiawi bisa diperoleh dengan imbalan seks atau uang. Amnesty International kini menghendaki agar pemerintah di Jakarta mengakui masalah ini dan mengadakan penyidikan independen.
Walaupun sudah menandatangani perjanjian internasional PBB yang menentang kekerasan, namun Indonesia masih belum memiliki UU yang melarang kekerasan jenis itu.
Luar biasa, laporan AMNESTI INTERNASIONAL ini diumumkan persis sehari sebelum peringatan HARI ANTI NARKOBA INTERNASIONAL (HANI) yang diperingati secara rutin setiap tanggal 26 Juni.
Lalu, hanya dalam hitungan beberapa hari ke depan, POLRI akan merayakan HARI BHAYANGKARA atau HARI ULANG TAHUN POLRI pada tanggal 1 Juli 2009.
Belum pernah terjadi dalam sejarah, persis menjelang perayaan HUT POLRI ada laporan internasional yang sangat menampar dan meluluh-lantakkan kehormatan POLRI secara INSTITUSI.
Indonesia tak perlu merasa tersinggung atas hasil investigasi yang akurat dan membanggakan dari AMNESTI INTERNASIONAL. Sebagai lembaga internasional yang sangat kredibel, AMNESTI INTERNASIONAL tentu tidakan sembarangan dalam mempublikasikan hasil investigasi mereka.
Pertanyaan kini adalah, sejauh mana PEMERINTAH INDONESIA menyikapi laporan dan temuan dari AMNESTI INTERNASIONAL ?
Cuek bebek, atau ada itikat baik untuk membenahi dan memangkas semua "kotoran" yang sangat amat belepotan di wajah POLRI ?
Selama ini, semua pemberitaan media massa nasional yang menyoroti berbagai pelanggaran hukum dan semua "rahasia kotor" yang patut dapat diduga menjadi catatan inti dari rekam jejak sejumlah oknum POLISI INDONESIA, seakan kesepian dan tak digubris samasekali. Seakan buta dan tuli terhadap kekritisan media massa nasional.
Hebatnya lagi, patut dapat diduga Komisaris Jenderal Gories Mere yang menjadi BEKING UTAMA dari kasus narkoba yang melibatkan sindikat bandar internasional Liem Piek Kiong alias MONAS, justru dengan percaya diri merusak hebat, menteror dan melakukan upaya pembunuhan yang terencana terhadap KATAKAMI pasca dimuatnya berbagai tulisan mengenai hal ini.
Patut dapat diduga, sejumlah KOMISARIS BESAR yang menjadi anggota inti dari "KUBU GORIES MERE" ikut dikerahkan untuk menghajar, menggempur, merusak saluran internet dengan menggunakan alat penyadap, melakukan penyadapan ilegal yang terus menerus dan tak pernah berhenti melakukan teror fisik yang mengancam keselamatan jiwa.
Datangnya laporan dan hasil investigasi dari AMNESTI INTERNASIONAL ini merupakan tamparan yang sangat memalukan dan menyakitkan.
Patut dapat diduga, reformasi birokrasi yang didengungkan POLRI beberapa waktu lalu hanya basa-basi dan tak pernah mungkin terealisasi. Inilah buah dari kegagalan kepemimpinan KAPOLRI Jenderal Bambang Hendarso Danuri, terutama Irwasum Komjen Jusuf Manggabarani dan Kadiv. Propam Irjen Oegroseno.
Mengapa disebut kegagalan ?
Ya, sebab temuan dan investigasi yang dilakukan AMNESTI INTERNASIONAL itu dilakukan pada era kekinian bukan pada era kepemimpinan Tri Brata 1 sepuluh atau duapuluh tahun lalu.
AMNESTI INTERNASIONAL berbicara mengenai pelanggaran berat POLRI di era kekinian ! Dan belum pernah terjadi, ada tamparan yang sangat keras dari komunitas internasional yang seburuk ini dalam sejarah perjalanan bangsa terhadap POLRI.
Alangkah malunya INDONESIA, menyaksikan perkembangan POLRI yang sangat carut marut. Komunitas Internasional, ternyata "TIDAK TIDUR" tetapi terus mengamati dan sangat cermat melakukan investigasi langsung di lapangan.
Ada hikmah yang sangat jelas dari semua perkembangan penting ini yaitu POLRI jangan terbiasa menutupi aib dan seakan "SOK" menjaga kehormatan dengan mengamankan oknum PEJABAT atau ANGGOTA yang nyata-nyata melakukan dugaan pelanggaran hukum yang sangat fatal.
Kekritisan media dibalas dengan brutalisme.
Kekritisan media dibalas dengan arogansi.
Kekritisan media dibalas dengan kesewenang-wenangan.
Kekritisan media dibalas dengan amukan-amukan yang sangat tidak manusiawi.
Saatnya, PEMERINTAH INDONESIA merombak total kepemimpinan POLRI yang saat ini bercokol, apalagi yang memang patut dapat diduga menjadi BIANG KEROK pelanggaran-pelanggaran hukum yang fatal. Jangan dilindungi. Jangan diamankan. Jangan ditutupi.
Selama ini, POLRI merasa seolah-olah menjadi INSTITUSI yang solid. Padahal patut dapat diduga, didalamnya terdapat banyak faksi, intrik dan berbagai pelanggaran hukum berat yang disembunyikan demi nama baik POLRI.
Ternyata mata dunia melihat dengan seksama. Ternyata telinga dunia mendengar dengan seksama. Betapa malunya jika semua aib dan pelanggaran hukum berat itu terus menerus disembunyikan dan dikubur-kubur dalam-dalam -- tanpa ada kesadaran untuk mereformasi diri dan menegakkan hukum sebagaimana mestinya.
Apa kata dunia, demikian slogan yang sangat dikenal sebagai ciri khas tokoh utama dalam film NAGABONAR ?
Kalau terus menerus POLRI membiarkan oknum PEJABAT atau ANGGOTANYA bertindak semena-mena mengangkangi KEMURNIAN PENEGAKAN HUKUM maka tidak tertutup kemungkinan negara-negara sahabat yang selama ini setia mendukung dan memberi bantuan kepada POLRI, akan menarik semua dukungan dan bantuan mereka yang berkelimpahan. Tidak tertutup juga kemungkinan, POLRI akan dikucilkan dari pergaulan internasional.
Berkali-kali, KATAKAMI menghadirkan atau menyelipkan sebuah kalimat bijak dalam berbagai tulisan utama kali yaitu "KEBENARAN ITU IBARAT AIR YANG MENGALIR, IA AKAN MENGALIR WALAU DIBENDUNG".
Pejabat teras setingkat Irwasum dan Kadiv Propam POLRI, harusnya menjadi tulang punggu Kapolri dalam melakukan pengawasan dan penegakan disiplin tetapi patut dapat diduga derasnya aliran informasi yang membuka aib, topeng dan semua rahasia pelanggaran hukum FATAL dari oknum POLRI membuat pejabat-pejabat teras ini patut dipertanyakan integritas dan kinerjanya.
Contoh kecil saja, dalam kasus narkoba bandar Liem Piek Kiong atau MONAS yang ditangkap bulan November 2007 dengan barang bukti 1 JUTA PIL EKSTASI.
Dari 9 orang yang ditangkap, hanya 3 orang yang berkas perkaranya dilimpahkan POLRI kepada KEJAKSAAN AGUNG. Sisanya "dilepaskan". Bahkan, bandar Liem Piek Kiong alias MONAS sudah 3 kali berturut-turut dibebaskan alias diloloskan dari jerat hukum -- sementara isteri dari MONAS alias Cece yang ikut ditangkap di Apartemen Taman Anggota (November 2007), sudah mendapatkan vonis mati dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Tetapi walau sudah divonis mati, Cece tetap menjadi bandar narkoba dan mengendalikan perdagangan gelap narkoba dari balik jeruji besi di Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur --.
Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri memerintahkan Irwasum Komjen Jusuf Manggabarani untuk melakukan pemeriksaan intensif sejak bulan Desember 2008 atas kasus rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sehingga Bandar MONAS bisa lolos dari jerat hukum.
Lebih dari 50 orang diperiksa, tapi pemeriksaan itu tidak menyentuh samasekali Komjen Gories Mere yang patut dapat diduga menjadi BEKING UTAMA bandar narkoba MONAS.
Hebatnya lagi, sumber KATAKAMI Di MABES POLRI menginformasikan bahwa Kapolda Riau Indradi Tanos sudah dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda -- padahal Indradi Tanos samasekali belum pernah diperiksa oleh Tim Irwasum --. Saat sindikat kemafiaan Liem Piek Kiong alias MONAS ini ditangkap, Indradi Tanos menjabat sebagai Direktur Narkoba Bareskrim POLRI.
Ada tabir misteri yang sangat mengerikan dibalik kasus bandr narkoba Liem Piek Kiong alias MONAS ini. Dan POLRI, patut dapat diduga sengaja mendiamkan dan membiarkan ketika KATAKAMI dihajar habis-habisan dan diteror dengan sangat brutal mengerikan oleh kubu Komjen Gories Mere karena berani-beraninya memberitakan kasus kotor seputar BANDAR NARKOBA MONAS.
POLRI juga, patut dapat diduga sengaja memdiamkan dan membiarkan ketika KATAKAMI dirusak habis-habisan, disadap, diteror dan diintimidasi -- laptop dan komputer kami semua dirusak --, termasuk nomor koneksi internet M2 yang kami gunakan, tidak ada yang tidak dirusak.
Padahal pada tanggal 14 Januari 2009, kasus pengrusakan terhadap KATAKAMI ini sudah dilaporkan secara resmi ke POLDA METRO JAYA, KOMNAS HAM dan DEWAN PERS. Kepada KOMNAS HAM, penyidik POLDA METRO JAYA menginformasikan carut marutnya dan brutalnya pengrusakan ini disebabnya karena "RUSAKNYA JARINGAN KONEKSI INTERNET". Inilah tulah atau karma yang diterima oleh POLRI.
Bagaimana bisa ada kerusakan jaringan internet, jika yang termuat dari tulisan-tulisan tertentu di KATAKAMI hanya bagian judul saja ? Bagaimana bisa disebut tidak ada pengrusakan oleh pihak lain kalau semua format tulisan, format desain dan tata letak KATAKAMI dan semua BLOG yang kami miliki dirusak habis-habisan ?
Kami menyambut baik, himbauan internasional agar POLRI direformasi secara total. Jangan ada lagi yang dilindungi jika memang melakukan pelanggaran hukum, HAM dan Kemanusiaan. Tidak cuma di dalam kasus bandar narkoba MONAS, tetapi harus dibuka semua dugaan pelanggaran hukum yang sangat fatal dalam penanganan terorisme.
Patut dapat diduga, GORIES MERE terkait dalam peledakan bom di Hotel JW Marriot dan didepan Kedubes Australia. Sumber KATAKAMI di KEPOLISIAN INDONESIA menyebutkan bahwa pasca peledakan bom di Hotel JW Marriot sebenarnya INTERPOL sudah menawarkan bantuan untuk Tim Satgas Bom tetapi ditolak.
Caranya, menurut sumber, patut dapat diduga Tim Satgas Bom menyodorkan 2 juta nomor telepon yang diklaim telah disadap dan perlu dibongkar untuk mengusut kasus peledakan bom di bulan Agustus 2003 tersebut.
Patut dapat diduga, banyaknya nomor telepon yang diklaim telah disadap seputar jaringan Al Jamaah Al Islamyah merupakan rekayasa dan tindakan hiperbola dari Gories Mere sebagai orang yang memimpin penanganan terorisme saat itu.
Kasus lain yang lebih mencengangkan, sumber KATAKAMI yang notabene adalah Jenderal Berbintang 4 menyebutkan bahwa seorang sahabatnya yang bersekolah di Malaysia telah mendapatkan informasi bahwa sebenarnya gembong teroris dr Azahari BELUM MATI. Sehingga, klaim dari INDONESIA bahwa gembong teroris dr Azahari ini telah ditembak mati pada bulan November 2005 adalah isapan jempol dan rekayasa yang sangat memalukan.
Ini mengingatkan KATAKAMI terhadap sebuah informasi dari wartawan senior yang mendapatkan "cerita tersendiri" dari seorang Mantan Kapolri bahwa saat POLRI mengumumkan dr Azahari telah tewas, Mantan Kapolri ini menghubungi Kapolri (saat itu) Jenderal Sutanto bahwa kebijakan Sutanto agar jenazah "dr Azahari" tidak perlu diotopsi -- karena POLRI meyakini bahwa yang mati itu adalah dr Azahari -- adalah sebuah kebijakan yang sangat ganjil dan bisa mempermalukan Indonesia di mata dunia internasional. Bayangkan, bagaimana mungkin dalam sebuah tindakan penyerangan yang diklaim telah menewaskan gembong teroris berbahaya, jenazahnya tidak diotopsi ? Ada apa dibalik semua itu ?
Entah mau ditaruh dimana muka kita sebagai sebuah BANGSA, disaat lembaga internasional sekredibel AMNESTI INTERNASIONAL menemukan begitu banyak aib, borok, bopeng dan berbagai pelanggaran hukum yang memalukan pada wajah dan tubuh "POLRI".
Belum lagi kalau AMNESTI INTERNASIONAL tahu bahwa oknum Pejabat POLRI -- terutama Kubu Komjen Gories Mere -- menindas jurnalis yang konsisten menyuarakan kebenaran dan keadilan. Tak punya rasa malu dan tidak tahu diri, menyalah-gunakan perangkat penyadapan dan perangkat teknologi yang dibeli dengan UANG RAKYAT tetapi untuk menindas rakyatnya sendiri.
Herannya, didiamkan pula -- dan terkesan sengaja dibiarkan -- oleh Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
Terimakasih Tuhan, Terimakasih "DUNIA", Terimakasih AMNESTI INTERNASIONAL dan terimakasih kepada nilai-nilai KEBENARAN yang bermuara para pentingnya upaya penegakan hukum yang murni dan konsekuen.
AMNESTI INTERNASIONAL dan "DUNIA" secara keseluruhan, jangan berhenti hanya sampai disini. Masih ada pertunjukan lain yang besar kemungkinan akan terjadi pada panggung politik PILPRES 2000.
Netralitas POLRI dituntut untuk sangat tegas dilakukan sehingga jangan sampai ada pemaksaan kehendak guna memberikan jalan bagi pasangan Capres - Cawapres tertentu untuk menang.
Ditambah lagi ada duapuluh juta orang rakyat Indonesia tidak bisa memilih pada Pemilu Legislatif bulan April 2009 lalu dan KOMNAS HAM telah merekomendasikan agar 20 juta orang rakyat Indonesia yang dirampas hak politiknya itu WAJIB difasilitasi untuk tetap memberikan hak suaranya.
Dan sekedar untuk melengkapi tulisan ini, rasanya seakan-akan komunitas internasional -- termasuk Amerika Serikat -- sudah mulai "kehilangan rasa persahabatan" terhadap rakyat Indonesia sebab pada pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009 lalu, tidak ada tim independen dari dunia internasional -- khususnya dari Mantan Presiden Jimmy Carter -- yang ikut membantu memantau dan mengawasi jalannya pesta demokrasi.
Biasanya, tim pemantau asing ini ikut memonitor jalannya pesta demokrasi Indonesia. Tetapi pada Pemilu Legislatif 2009 lalu, tidak ada samasekali kekritisan dari tim pemantau asing yang kredibel untuk mengawal proses demokratisasi di Indonesia. Bukan untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia sebab tim pemantau independen ini bersifat untuk "menyaksikan" saja.
Terbukti, dengan tidak disaksikannya pesta demokrasi Pemilu Legislatif bulan April 2009 lalu, 20 juta rakyat Indonesia telah dirampas HAK POLITIKNYA dan patut dapat diduga POLRI sengaja tidak mau menerima laporan tindak kecurangan pada pesta demokrasi itu.
DUNIA INTERNASIONAL -- entah itu Amerika Serikat atau negara manapun juga-- janganlah pernah dan janganlah sampai mengurangi rasa persahabatan dan perhatian yang hangat kepada rakyat Indonesia.
Jangan menunggu sampai Indonesia harus hancur lebur dan luluh lantak seperti IRAN -- pasca kekisruhan Pemilu Pilpres disana --.
Akhirnya, sebagai anak bangsa yang mencintai Indonesia dengan sepenuh hati -- termasuk mencintai POLRI secara INSTITUSI -- raanya ikut sedih, malu dan terpukul atas tamparan keras di wajah dan tubuh POLRI dibalik temuan dan hasil investigasi AMNESTI INTERNASIONAL.
Kali ini, kena batunya lu !
(MS)